Minggu, 05 Juni 2011

Makam Mbah Karimah

Musala di Makam Mbah Karimah merupakan salah satu tempat tujuan umat Islam di Surabaya dan sekitarnya saat bulan Ramadan. Musala ini dipercaya adalah musala pertama yang dibangun Sunan Ampel, penyebar Islam di Surabaya dan sekitarnya.

Makam Mbah Karimah Letaknya di kawasan Kembang Kuning, Surabaya. Menuju lokasi ini, bisa diawali dari Masjid Rahmat atau dikenal dengan sebutan Masjid Kembang Kuning di Jalan Chairil Anwar 27, Surabaya. Kemudian, berjalan ke barat menyusuri perkampungan padat yang agak mendaki. Sekitar 100 meter kemudian terlihat gapura bertulis 'Makam Mbah Karimah'.

Di pintu masuk, berdiri sebuah gapura tertulis makam Mbah Karimah. Halamannya terasa sejuk dengan dua pohon asam seakan sebagai pintu gerbang. Lima meter kemudian terlihat dua bangunan, mushala dan bangunan cungkup dengan dua makam, milik Mbah Karimah tertulis wafat pada tahun 1377, sebelahnya makam Mbah Sholeh salah satu murid setianya.

"Ini makam Mbah Karimah dan yang itu Mbah Sholeh, murid atau cantriknya. Mbah Karimah itu orang yang berjasa di kawasan ini," kata juru kunci makam, Suripto, 62 tahun menyambut kedatangan VIVAnews.

Kuncen itu menambahkan tempat tersebut tidak pernah sepi didatangi peziarah. Mulai sekedar mampir salat, membaca ayat suci Al-Quran, kemudian istirahat bahkan bermalam setelah sebelumnya melakukan ziarah.

Tak jarang mereka datang kembali membawa nasi tumpeng untuk selamatan. Dimakan bersama dengan siapa saja yang saat itu ada di tempat tersebut. "Saya sering diminta membaca doanya. Katanya, doa atau keinginannya terijabah," terang Suripto.

Tempatnya sangat sejuk, meski di Surabaya umumnya panas di lokasi ini terasa nyaman karena berada di dataran tinggi. Menuju lokasi ini, bisa diawali dari Masjid Rahmat atau dikenal dengan sebutan Masjid Kembang Kuning di Jl Chairil Anwar 27, Surabaya.

Tempat ini adalah cikal bakal atau mushala pertama yang berdiri di tanah Jawa, buah karya besar tangan dingin Rahmatullah alias Raden Rahmad yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel.

Kisahnya, awal abad 15 di tempat ini Sunan Ampel mendirikan tempat ibadah. Selain dipakai untuk sujud menyembah Allah SWT, juga wujud ucapan terimakasihnya kepada Wiroseroyo (pemeluk Hindu dari Majapahit) yang dikenal dengan sapaan Mbah Karimah itu.

Musala ini dipercaya Suripto adalah musala pertama yang berdiri di tanah Jawa, buah karya besar tangan dingin Rahmatullah alias Raden Rahmad yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Namun klaim ini tentu patut dipertanyakan karena terdapat berbagai masjid atau tempat ibadah muslim yang berumur jauh lebih tua daripada ini.

Namun musala ini jelas yang pertama berdiri di Surabaya mengingat kisahnya bagian dari perjalanan hidup Sunan Ampel (1401-1481), penyebar Islam di Surabaya dan sekitarnya. Kisahnya, awal abad 15, Rahmatullah mendirikan tempat ibadah yang juga wujud ucapan terimakasihnya kepada Wiroseroyo pemeluk Hindu dari Majapahit yang kemudian masuk Islam.

Pak Wiro, pengembara dari Majapahit saat itu tengah berjalan bersama putrinya Karimah. Versi lain menyebut Pak Wiro sebelumnya telah lebih dulu menetap di hutan itu setelah lari dari Majapahit. Di hutan Kembang Kuning itu, pertemuan terjadi antara bekas petinggi dari Majapahit dengan pemuda bernama Rahmat.

"Singkat cerita, melihat kekhusukannya, Wiro dan anaknya memutuskan untuk mengikuti pemuda tersebut dan memeluk keyakinan yang diikuti Rahmatullah," kata Suripto.

Seiring berjalannya waktu, Wiro kemudian menjadi mertua Rahmatullah. Setelah mempersunting Karimah, Rahmatullah pamit meninggalkan hutan untuk melanjutkan dakwah. Sebelum ditinggalkan, di hutan tersebut telah berdiri musala kecil dari bilik. Kemudian, ia dan istrinya berjalan ke arah utara dan akhirnya menetap dan meninggal di kawasan Ampel, Surabaya Utara.

Setelah ditinggal Rahmatullah, Wiro hidup sendiri. Melanjutkan ajaran menantunya hingga kemudian lokasi itu ramai didatangi banyak orang dari berbagai penjuru negeri. Mereka ingin belajar bersama Wiro dan menjadi orang terkenal setelah kembali ke daerahnya. Wiro lambat laun dikenal sebagai Mbah Karimah. Dan seiring berjalannya waktu, Wiroseroyo atau Mbah Karimah kemudian menjadi mertua Rahmatullah (Sunan Ampel).


Mbah Karimah telah tiada, tercatat ia meninggal pada 1377. Namun, hingga kini pusaranya tidak pernah sepi dikunjungi. "Penguasa" hutan asal Majapahit itu ikut mengukir sejarah, mewarnai perjalanan seorang pemuda yang kini tersohor dengan nama Sunan Ampel (1401-1481).

Laporan: Tudji Martudji | Surabaya
by: vivanews

Makam Ki Ageng Bungkul

Makam Ki Ageng Bungkul terletak di sebelah Timur Jalan Raya Darmo, Surabaya. Batas-batasnya adalah sebelah timur Jalan Serayu, sebelah selatan Jalan Progo, sebelah barat  lapangan olah raga dan Jalan Raya Darmo, dan sebelah utara Jalan Taman Bungkul. Tanah tempat makam agak tinggi, penuh ditumbuhi pohon-pohon yang rindang. Luas komplek makam ini kurang lebih 3 hektar dengan pintu masuk beranda di sisi timur.
  
Sejarah tentang Ki Ageng Bungkul hingga saat ini hanya berdasarkan cerita rakyat. Ki Ageng Bungkul adalah sebutan dari seorang pembuat keris dari Tuban yaitu Empu Supa. Ketika Raja Majapahit (Raja Brawijaya) membutuhkan keris maka beliau memanggil Ki Supa ke Majapahit. ternyata keris yang dibuat Ki Supa kurang berkenan di hati raja, sehingga keris tersebut tidak dipakai oleh raja. 

Setelah tugasnya selesai, Ki Supa pulang ke Tuban, dalam perjalanannya Ki Supa singgah di daerah Bungkul. Rupa-rupanya Ki Supa tertarik untuk menetap di Bungkul, karena terkenal sebagai orang yang sakti maka dijuluki Ki Ageng Bungkul, yang selanjutnya menjadi pembesar Kota Surabaya.

Ki Ageng Bungkul mulanya beragama Hindu. Setelah Islam berkembang secar rahasia bersama dengan kepala pelabuhan Tuban, Aryo Tejo masuk Islam. setelah masuk Islam, Ki Ageng Bungkul berganti nama K.A. Machmudin. Ketika anak gadisnya yang bernama Dewi Wardah sudah dewasa, K.A. Machmudin bernazar akan mengawinkan puterinya dengan siapa saja yang menemukan buah delimanya yang selalu berbuah sebutir dan idah rupanya.
Diceritakan para santri Sunan Ampel biasa mandi di Sungai Mas, termasuk Raden Paku. Pada malam Jumat, R. Paku mandi seorang diri, sewaktu mengambil air wudhu beliau menemukan sebutir buah delima. Kemudian delima itu diserahkan pada gurunya (Sunan Ampel).

Pada suatu hari K.A. Machmudin menyusuri Sungai Mas beliau sampai ke pesantren Sunan Ampel dan menanyakan siapa yang menemukan buah delimanya. Kemudian oleh Sunan Ampel dikatakan kalau yang menemukan buah delimanya adalah Raden Paku. Maka sesuai dengan nazarnya, Dewi Wardha dikawinkan dengan R. Paku. Hari perkawinan tersebut bersamaan dengan perkawinan R. Paku dengan Dewi Murtasiah anak Sunan Ampel.

Sejarah Ki Ageng Bungkul selanjutnya belum diketahui, hanya setelah beliau wafat dimakamkan di derah Bungkul. Hari wafatnya selalu diperingati tiap-tiap tahun pada tanggal 14 Syawal.